Sejarah Singkat Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Alhamdulillah,
segala Puja dan Puji hanya milik ALLAH SWT, Tuhan seluruh alam ini. Sholawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, para sahabatnya, para keluarganya, serta para penerus perjuangannya,
amien…
Bertepatan dengan momen Maulid Nabi
Muhammad SAW, ijinkan saya yang dhoif dan banyak dosa ini sedikit berbagi
tentang sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Semoga dengan mengingat kembali
sejarah kehidupan Rasulullah, kita akan semakin cinta kepada Beliau, sehingga
kelak bisa termasuk salah satu umatnya yang mendapatkan syafaat dari Beliau di
yaumil kiamah, amien…
Sejarah
ini saya ambil dari buku “ SIRAH NABAWIYAH “ karangan Syech Shafiyurrahman
Al-Mubarakfury, pemenang (juara 1) lomba penulisan Sejarah Nabi yang diadakan
oleh Rabithah Al-Alam Al-Islamy. Selain itu juga ada beberapa sumber lain dari
internet sekedar sebagai pembanding. Khususnya mengenai adanya perbedaan
tanggal dan bulan kelahiran Nabi SAW.
Rasulullah
SAW dilahirkan ditengah keluarga Bani Hasyim di Makkah pada senin pagi, tanggal
9 Rabi’ul Awwal, tahun gajah. Atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April
tahun 571 M. hal ini berdasarkan penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman
Al-Manshurfury, dan peneliti astronomi, Mahmud Basya.
Mengenai tanggal
dan bulan kelahiran Nabi, sesungguhnya terdapat perbedaan pendapat dari para
sejarawan dan para ulama’. Ada yang berpendapat Beliau lahir pada bulan
muharram, bulan Safar. Tapi mayoritas berpendapat Beliau lahir pada Bulan
Rabi’ul Awwal tahun gajah. Mengenai tanggal kelahirannya pun banyak pendapat
yang bermunculan. Ada yang mengatakan tanggal 2 Rabi’ul Awwal, tanggal 8,
tanggal 9, maupun tanggal 12 Rabi’ul Awwal seperti yang diyakini sebagian besar
masyarakat muslim Indonesia. Tapi perbedaan itu tidak perlu kita perdebatkan. Masing-masing
punya argument, jadi lebih baik kita saling menghormati perbedaan pendapat
tersebut.
Diriwayatkan bahwa ada beberapa
bukti pendukung kerasulan beliau, yang terjadi bertepatan dengan saat kelahiran
beliau. diantaranya, runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, dan padamnya api
yang biasa disembah orang-orang Majusi serta runtuhnya beberapa gereja disekitar
Buhairah. Yang demikian diriwayatkan oleh Al-Baihaqy.
Sementara Ibnu Sa’d meriwayatkan,
bahwa ibunda Rasulullah, Siti Aminah berkata, “ Setelah bayiku keluar, aku
melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di Syam
“
Setelah Aminah melahirkan, dia
mengirim utusan ke rumah Abdul Muththalib, kakek Rasulullah. Maka Abdul
Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam
Ka’bah, seraya berdo’a kepada ALLAH SWT dan bersyukur kepada-NYA. Dia
memilihkan nama Muhammad bagi beliau. Nama ini belum pernah dikenal dikalangan
Arab. Beliau dikhitan pada hari ketujuh, seperti yang biasa dilakukan orang2
arab. Namun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa beliau dilahirkan dalam
keadaan sudah dikhitan.
Wanita pertama yang menyusui beliau
setelah ibundanya adalah Tsuwaibah, hamba sahaya Abu Lahab, yang kebetulan
sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh. Sebelumnya, wanita ini juga
menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib, juga menyusui Abu Salamah bin Abdul-Asad
Al-Makhzumy.
Di
Tengah Bani Sa’d
Tradisi yang berjalan dikalangan
Bangsa Arab yang relative sudah maju, mereka mencari wanita-wanita yang bisa
menyusui anak-anaknya, sebagai langkah antisipasi menjauhkan anak-anak itu dari
penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju. Agar tubuh bayi itu
menjadi kuat, otot-ototnya kekar, dan keluarga yang menyusuinya bisa
mengajarinya bahasa arab. Maka Abdul Muththalib mencari para wanita yang bisa
menyusui beliau, yaitu Halimah bin Abu Dzu’aib dari Bani Sa’d bin Bakr.
Paman beliau, Hamzah bin Abdul
Muththalib juga pernah disusui oleh Halimah As-Sa’diyah. Jadi Hamzah adalah
saudara sepersusuan Rasulullah dari dua pihak, yaitu dari Tsuwaibah dan dari
Halimah As-Sa’diyah.
Berikut adalah penuturan dari
Halimah As-Sa’diyah, yang dapat merasakan barakah yang luar bisa selama
menyusui dan merawat Rasulullah SAW.
“ Itu terjadi pada masa paceklik,
tak banyak dari kekayaan kami yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai
betina berwarna putih milik kami dan seekor unta yang sudah tua dan tidak bisa
lagi diperas susunya walau hanya setetes. Sepanjang malam kami tidak pernah
bisa tidur karena harus meninabobokkan bayi kami yang terus-terusan menangis
karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan. Sekalipun kami tetap
masih mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. Akau pun pergi sambil
menunggang keledai betina milik kami dan hampir tidak pernah turun dari
punggungnya, sehingga keledai itupun semakin lemah kondisinya. Akhirnya kami
serombongan tiba di Makkah dan segera mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap
wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah SAW pasti menolaknya,
setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, karena kami
memang mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang kami
susui.”
Seperti sudah kita ketahui, ayah
beliau, Abdullah bin Abdul Muththalib meninggal dunia ketika beliau masih dalam
kandungan. Warisan yang ditinggalkan Abdullah berupa lima ekor unta, sekumpulan
domba, pembantu wanita Habsyi, yang namanya Barakah, dan berjuluk Ummu Aiman.
Dialah salah satu orang yang mengasuh Rasulullah SAW. Warisan tersebut tidak
bisa dibilang banyak untuk ukuran orang arab pada zaman itu.
Kembali lagi ke penuturan Halimah, “
Setiap wanita dari rombongan kami telah mendapatkan bayi yang akan disusuinya,
kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah bersiap-siap untuk kembali, aku berkata
kepada suamiku, “ Demi ALLAH, aku tidak ingin kembali bersama teman-temanku
wanita tanpa membawa seorang bayi yang kusususi. Demi ALLAH, aku benar2 akan
mendatangi anak yatim itu dan membawanya.”
Kemudian suamiku, ( Al-Harits bin
Abdul-Uzza yang berjuluk Abu Kabsyah ) menjawab “ Memang ada baiknya jika
engkau melakukan hal itu. Semoga saja ALLAH mendatangkan barokah bagi kita pada
diri anak itu.”
Maka aku pun menemui bayi itu
(beliau) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak
merasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera menghampiri hewan tungganganku,
dan tatkala puting susuku aku sodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot air
susuku sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga
dapat menyedot air susuku sepuasnya hingga kenyang. Setelah itu, keduanya
tertidur dengan pulas. Padahal sebelum itu kami tidak pernah tidur sepicing pun
karena repot mengurus bayi kami. Suamiku menghampiri untanya yang sudah tua.
Ternyata air susunya menjadi penuh. Maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum
air susu unta kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu
adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.
“ Demi ALLAH, tahukah engkau
Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah,” kata suamiku
pada esok harinya.
“ Demi ALLAH, aku pun berharap yang
demikian itu, “ kataku.
Halimah melanjutkan penuturannya, “
kemudian kami pun bersiap-siap pergi dan aku menunggang keledaiku. Semua bawaan
kami juga kunaikkan bersamaku diatas punggungnya. Demi ALLAH, setelah kami
menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai-keledai mereka tidak akan
mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku.
Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku, “ Wahai putri Abu Dzu’aib, celaka
engkau! Tunggulah kami!
Bukankah ini
keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?”
“ Demi ALLAH, begitulah. Ini adalah
keledaiku yang dulu,” kataku.
“ Demi ALLAH, keledaimu itu kini
bertambah perkasa, “ kata mereka.
Kami pun tiba di tempat tinggal kami
di daerah Bani Sa’d. aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun milik kami yang
lebih subur dari saat itu. Domba-domba kami menyongsong kedatangan kami dalam
keadaan kenyang dan air susunya juga penuh berisi, sehingga kami bisa
memerahnya dan meminumnya. Sementara setiap orang yang memerah air susu
hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar
susunya juga kempis. Sehingga mereka berkata garang kepada para gembalanya,
“celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaan kalian seperti yang dilakukan
gembalanya putri Abu Dzu’aib.” Namun domba-domba mereka pulang ke rumah tetap dalam
keadaan lapar dan tak setetes pun mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku
pulang dalam keadaan kenyang dengan kelenjar sususnya penuh berisi. Kami
senantiasa mendapatkan tambahan barakah dari kebaikan dari ALLAH selama dua
tahun kami menyusui anak susuan kami (Rasulullah). Lalu kami menyapihnya. Dia
tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua
tahun pun dia telah tumbuh dengan pesat. Kemudian kami membawanya kepada
ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada ditengah2 kami,
karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada
ibunya. Aku berkata kepadanya, “ andaikan saja engkau mengijinkan anak ini
tetap bersama kami hingga besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang
biasa menjalar di Makkah.” Kami terus merayu ibunya agar dia berkenan
mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.
Begitulah akhirnya Rasulullah SAW
kembali tinggal ditengah Bani Sa’d, hingga tatkala Beliau berumur empat atau
lima tahun, terjadi peristiwa pembelahan dada beliau.
Muslim meriwayatkan dari Anas, Bahwa
Rasulullah SAW didatangi Jibril a.s, yang saat itu beliau sedang bermain
bersama anak-anak kecil lainnya. Jibril memegang beliau dan menelentangkannya,
kemudian membelah dadanya dan mengeluarkan hati beliau, dan mengeluarkan
segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata, “ ini adalah bagian syetan
yang ada pada dirimu.” Lalu Jibril a.s mencucinya disebuah baskom dari emas,
dengan menggunakan air zamzam, kemudian menata dan memasukkannya kembali ke
tempatnya semula. Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susuannya dan
berkata, “Muhammad telah dibunuh!” mereka pun datang menghampiri beliau yang
wajah beliau semakin berseri.
Kembali
ke Pangkuan Ibu Tercinta
Dengan adanya peristiwa pembelahan
dada itu, Halimah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, hingga dia
mengembalikannya kepada ibu beliau. Maka beliau hidup bersama ibunda tercinta
sampai umur enam tahun.
Ibunda, Siti Aminah, merasa perlu
mengenang suaminya yang telah meninggal dunia, dengan cara mengunjungi
(berziarah) ke kuburannya di Yatsrib. Maka dia pergi dari Makkah untuk menempuh
perjalanan sejauh 500 kilometer, bersama putranya yang yatim, Muhammad SAW,
disertai pembantu wanitanya, Ummu Aiman.
Abdul Muththalib mendukung hal itu.
Setelah menetap selama sebulan di Madinah, Aminah dan rombongannya siap-siap kembali
ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu, dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal
dunia di Abwa’, yang terletak anatara Makkah dan Madinah.
Kembali
ke Kakeknya yang penuh kasih sayang
Kemudian beliau kembali ke tempat
kakeknya, Abdul Muththalib di Makkah. Perasaan kasih sayang disanubarinya
terhadap cucunya yang kini yatim piatu semakin terpupuk. Cucunya harus
menghadapi cobaan baru diatas lukanya yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan
kasih sayang, yang tidak pernah dirasakannya, sekalipun terhadap anak-anaknya
sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih
mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya.
Pada usia delapan tahun lebih dua
bulan sepuluh hari dari umur Rsulullah SAW, kakek beliau, Abdul Muththalib,
meninggal dunia di Makkah. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan
menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung
bapak beliau.
Dibawah
Asuhan Sang Paman
Abu Thalib melaksanakan hak anak
saudaranya dengan sepenuhnya dan menganggap beliau seperti anaknya sendiri.
Bahkan Abu Thalib lebih mengutamakan kepentingan beliau daripada anak-anaknya sendiri,
mengkhususkan perhatian dan penghormatan. Hingga berumur lebih dari empat puluh
tahun beliau mendapatkan kehormatan disisi Abu Thalib, hidup dibawah
penjagaannya, rela menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi
membela beliau.
Bahira
Sang Rahib
Selagi usia Rasulullah SAW mencapai
12 tahun, dan ada yang berpendapat lebih dua bulan sepuluh hari, Abu Thalib
mengajak beliau pergi berdagang ke negeri Syam. Hingga ketika tiba di Bushra,
suatu daerah yang sudah termasuk wilayah Syam, rombongan Abu Thalib ini bertemu
dengan seorang Rahib yang terkenal dengan sebutan Bahira, yang nama aslinya
adalah Jurjis. Tatkala rombongan singgah di daerah ini, maka sang rahib
menghampiri mereka dan mempersilahkan mereka mampir ke tempat tinggalnya sebagai
tamu kehormatan. Padahal sebelum itu, sang Rahib tidak pernah keluar, namun
begitu dia bisa mengetahui Rasulullah SAW dari sifat-sifat beliau. sambil
memegang tangan beliau, sang rahib berkata, “ orang ini adalah pemimpin semesta
alam. Anak ini akan diutus ALLAH sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Abu Thalib bertanya, “ Darimana
engkau tahu hal itu?”
Rahib Bahira menjawab, “ Sebenarnya
sejak kalian tiba di Aqabah, tak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan
mereka tunduk bersujud. Mereka tidak bersujud melainkan kepada nabi. Aku bisa
mengetahuinya dari cincin nubuwah yang berada dibagian bawah tulang rawan
bahunya, yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapatkan tanda itu di
dalam kitab kami.”
Kemudian Rahib Bahira meminta agar
Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa melanjutkan perjalanannya ke Syam,
karena dia takut gangguan dari puhak orang-orang Yahudi. Maka Abu Thalib
mengirim beliau bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Makkah.
Penutup
Demikian sekelumit sejarah tentang
kelahiran dan masa kecil Rasulullah SAW, sebagai sebuah pembelajaran bagi kita,
khususnya bertepatan dengan momen Maulid Nabi Muhammad SAW. Semoga yang sedikit
ini bisa bermanfaat bagi kita dalam mengingat kembali segala perjuangan
Rasulullah SAW dalam menyebarkan agama Islam. Karena harus jujur kita akui
bahwa kita sering sekali melupakan sosok panutan seluruh alam ini. Semoga kita
termasuk orang-orang yang kelak mendapat syafaat dari Beliau di yaumil akhir,
Amien Ya Rabbal’alamien…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar